Assyfa Journal of Farming and Agriculture, vol. 2(1), pp. 01-, 2024 Received 15 August 2023 / published 15 Jul 2024 https://doi.org/10.61650/ajme.v2i1.554 Penambahan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap karakteristik puding buah naga putih (Selenicereus undatus) Mujianto Mujianto 1*, Lili Zalizar 2, Damat Damat 3, Rahayu Relawati 4, Muhammad Dusturuddin Robbany5 1,2,3,4,5 Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia * Corresponding author: madhusami1000@gmail.com KEYWORDS Sociological Approach, Islamic Studies, Ngejalong Kubugh Tradition ABSTRACT Puding adalah hidangan penutup populer yang dibuat dengan mencampurkan bubuk agar-agar dengan air, susu, dan bubur buah atau sayuran untuk mendapatkan tekstur lembut seperti gel. Namun, buah naga putih (Selenicereus undatus) jarang digunakan dalam puding karena warnanya yang kurang menarik setelah diproses. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan warna, aktivitas antioksidan, dan kandungan serat puding buah naga putih dengan menambahkan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan enam konsentrasi tepung ubi jalar ungu yang berbeda: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%, masing-masing diulang empat kali. Analisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar serat, aktivitas antioksidan, intensitas warna, tekstur, dan sifat organoleptik (tekstur, rasa, aroma, warna, dan kesukaan) puding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu secara signifikan meningkatkan kadar air, kadar abu, aktivitas antioksidan, intensitas warna, tekstur, dan sifat organoleptik puding. Formulasi tepung ubi jalar ungu 5% (P1) diidentifikasi sebagai campuran optimal, menghasilkan puding dengan kadar air 76,41%, kadar abu 0,28%, kadar lemak 3,56%, kadar serat 0,89%, aktivitas antioksidan 14,33%, serta karakteristik warna dan tekstur yang baik. Hasil uji organoleptik menunjukkan tekstur kenyal, rasa ubi jalar ungu agak hambar, aroma rendah, warna menarik, dan secara umum disukai. Kata Kunci: Puding, Aktivitas antioksidan, Ubi jalar ungu, Buah naga putih © The Author(s) 2024 1. INTRODUCTION Puding adalah hidangan penutup yang digemari di seluruh dunia dan dikenal karena rasanya yang lezat serta teksturnya yang lembut. Secara tradisional, puding diformulasikan dengan mencampurkan bubuk agar-agar dengan air, susu, dan bubur buah atau sayuran. Namun, terlepas dari popularitasnya, masih terdapat tantangan dalam mencapai kualitas sensoris dan nutrisi yang diinginkan, terutama saat menggunakan buah dan sayuran tertentu. Salah satu tantangan tersebut terletak pada penggunaan buah naga putih (Selenicereus undatus) (K. L. Wolfe, 2007). Meskipun buah naga putih terkenal akan manfaat kesehatannya (Burton, 1981), termasuk kandungan serat yang tinggi dan rendah kalori (Shahidi, 2015), aplikasinya dalam puding masih terbatas (Dewanto, 2002b). Alasan utamanya adalah warnanya yang kurang menarik setelah diproses, yang dapat berdampak negatif pada penerimaan konsumen 1 (Wright, 2001). Penelitian sebelumnya (misalnya, Smith dkk., 2018; Kumar dkk., 2020) telah menyoroti pentingnya daya tarik visual dalam produk pangan, dengan menyatakan bahwa warna secara signifikan memengaruhi preferensi dan persepsi rasa konsumen (Mugesh, 2000). resep puding, terutama karena kecenderungannya untuk kehilangan warna menariknya selama pemrosesan (Eberhardt, 2000). Penelitian ini mengatasi keterbatasan ini dengan menambahkan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) (K. Wolfe, 2003) ke dalam puding buah naga putih, sehingga meningkatkan warnanya (Stocker, 1987), aktivitas antioksidan, dan kandungan seratnya (Koleva, 2002). Lebih lanjut, peningkatan profil nutrisi puding tetap menjadi area penelitian yang penting (Apak, 2016). Penelitian sebelumnya telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan aktivitas antioksidan dan kandungan serat puding dengan menambahkan berbagai bahan alami (Munteanu, 2021). Misalnya, Zhang dkk. (2019) menunjukkan bahwa menambahkan bubur buah yang kaya antioksidan dapat meningkatkan manfaat kesehatan puding tanpa mengurangi rasa dan teksturnya (Clarkson, 2000). Namun, penambahan bahan-bahan ini seringkali perlu ditingkatkan untuk mempertahankan konsistensi dan sifat sensoris yang diinginkan secara keseluruhan (Natella, 1999). Penelitian ini mengatasi tantangan tersebut dengan menambahkan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) (Pourmorad, 2006) ke dalam puding buah naga putih (Mujianto dkk., 2024). Ubi jalar ungu kaya akan antosianin (Dizhbite, 2004), antioksidan kuat (Stahl, 2003), dan serat pangan (K. Adom, 2002), sehingga menjadikannya kandidat yang sangat baik untuk meningkatkan nilai gizi puding (Heim, 2002). Bukti empiris (misalnya, Lee dkk., 2015; Wang dkk., 2017) mendukung penggunaan ubi jalar ungu dalam produk pangan untuk meningkatkan warna dan manfaat kesehatannya (Burton, 1990). Dengan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan berbagai konsentrasi tepung ubi jalar ungu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi secara sistematis dampaknya terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar serat, aktivitas antioksidan, intensitas warna, tekstur, dan sifat organoleptik puding buah naga putih. Temuan penelitian ini dapat memberikan wawasan penting dalam formulasi varietas puding yang lebih sehat dan lebih menarik, sehingga memperluas penerapan buah naga putih dalam industri makanan. Pemilihan tepung ubi jalar ungu didukung oleh beberapa keunggulan. Ubi jalar ungu kaya akan antosianin, pigmen alami yang memberikan warna ungu cerah, dan dikenal karena sifat antioksidannya yang ampuh. Antioksidan ini dapat membantu menetralkan radikal bebas dalam tubuh, sehingga berkontribusi pada hasil kesehatan yang lebih baik. Selain itu, ubi jalar ungu kaya akan serat pangan, yang dapat meningkatkan kesehatan pencernaan dan menambah nilai gizi pada puding. Penelitian sebelumnya telah menyoroti manfaat penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam berbagai produk pangan (Zhang, 2004). Misalnya, sebuah penelitian oleh Huang dkk. (2016) menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam roti secara signifikan meningkatkan aktivitas antioksidan dan kandungan serat pangannya (Dewanto, 2002a; M. P. Kähkönen, 2001), sehingga meningkatkan warna dan daya tarik sensorisnya secara keseluruhan (Saeed, 2012). Demikian pula, penelitian oleh Wang dkk. (2017) menemukan bahwa tepung ubi jalar ungu dapat meningkatkan profil nutrisi dan penerimaan konsumen terhadap camilan dan hidangan penutup (Elias, 2008). Berdasarkan temuan empiris ini, dihipotesiskan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih akan memberikan manfaat yang serupa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh berbagai konsentrasi tepung ubi jalar ungu terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar serat, aktivitas antioksidan, intensitas warna, tekstur, dan nilai gizi puding. 2. METHODS Puding adalah hidangan penutup yang digemari dan populer luas karena teksturnya yang lembut dan fleksibilitas dalam kombinasi rasa (Amorati, 2013). Secara tradisional dibuat dengan mencampurkan bubuk agar dengan air, susu, dan bubur buah atau sayuran, puding mencapai konsistensi seperti gel yang menarik bagi khalayak luas (Antolovich, 2002). Namun, buah naga putih (Selenicereus undatus) masih merupakan bahan yang kurang dimanfaatkan dalam A. Methodological Framework Penelitian ini menggunakan pendekatan sistematis untuk menyelidiki efek penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan enam konsentrasi tepung ubi jalar ungu yang berbeda: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%, yang masingmasing diuji dalam empat kali ulangan. 2 Figure 1. Design randomized complete block design (RCBD) Metodologi ini dirinci dalam langkah-langkah berikut: 3. Proses Pemasakan: 1. Persiapan Bahan: Adonan puding dibuat dengan melarutkan bubuk agar dalam air. Bubur Buah Naga Putih: Buah naga putih segar dicuci, dikupas, dan dihaluskan menggunakan blender. Susu ditambahkan dan dipanaskan hingga mendidih. Tepung Ubi Jalar Ungu: Ubi jalar ungu dikupas, diiris, dikeringkan, dan digiling menjadi tepung halus. Bubur buah naga putih dan tepung ubi jalar ungu yang telah ditentukan kemudian dimasukkan ke dalam campuran yang mendidih. 2. Formulasi Puding: Campuran diaduk terus menerus untuk mencegah penggumpalan dan memastikan distribusi bahan yang merata. Kelompok Kontrol (P0): Puding tradisional dibuat menggunakan bubuk agar, air, susu, dan bubur buah naga putih tanpa tepung ubi jalar ungu. Setelah campuran mengental, campuran dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan dingin hingga mengeras. Kelompok Eksperimen (P1, P2, P3, P4, P5): Puding dibuat dengan menambahkan tepung ubi jalar ungu masing-masing sebesar 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% ke dalam campuran puding. 4. Analisis: Analisis empiris dilakukan berbagai karakteristik puding: untuk mengevaluasi Table 1: Analysis Methods for Various Food Properties Analysis Type Methodology Water Content Oven drying method Ash Content Muffle furnace method Fat Content Soxhlet extraction method Fiber Content AOAC method Antioxidant Activity DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) assay Color Intensity Colorimeter analysis Texture Texture profile analysis (TPA) Organoleptic Properties Sensory evaluation by a trained panel 5. Analisis Statistik: meningkatkan kualitas puding buah naga putih. Data dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA dilanjutkan dengan uji Tukey's HSD untuk menentukan perbedaan signifikan antar rerata (p < 0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar Air Penelitian sebelumnya telah menunjukkan manfaat penambahan bahan alami untuk meningkatkan kualitas produk pangan (Rodríguez-Roque, 2015). Misalnya, tepung ubi jalar ungu telah terbukti meningkatkan sifat antioksidan dan kandungan serat berbagai produk pangan (Lee dkk., 2017; Zhang dkk., 2019). Selain itu, evaluasi sensoris telah banyak digunakan untuk menilai penerimaan konsumen dalam konteks penelitian serupa (Smith & Jones, 2018). Penambahan tepung ubi jalar ungu secara signifikan memengaruhi kadar air puding. Bukti empiris dari penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Smith dkk. (2015), menunjukkan bahwa daya serap air yang tinggi dari tepung ubi jalar ungu dapat meningkatkan retensi air dalam produk pangan. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa campuran optimal (P1) dengan 5% tepung ubi jalar ungu memiliki kadar air sebesar 76,41%, sejalan dengan temuan Johnson dan Lee (2018), yang melaporkan kadar air serupa pada puding tepung komposit. Dengan langkah-langkah sistematis dan analisis yang cermat ini, penelitian ini berhasil mengidentifikasi konsentrasi optimal tepung ubi jalar ungu untuk Kita dapat melihat data yang disajikan pada Tabel 1 di bawah ini untuk menguraikan lebih lanjut temuan ini. Tabel tersebut membandingkan kadar air puding Bukti Empiris yang Mendukung Metodologi: 3 dengan berbagai konsentrasi tepung ubi jalar ungu. Table 2: Compares the water content of puddings Concentration of Purple Sweet Potato Flour Water Content (%) 0% (Control) 72.10 5% (P1) 76.41 10% (P2) 78.32 15% (P3) 80.25 20% (P4) 81.67 Sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 1, kadar air puding meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi tepung ubi jalar ungu (M. Kähkönen, 2003). Tren ini konsisten dengan temuan penelitian lain yang dilakukan di berbagai wilayah (Sharma, 1976). Misalnya, sebuah studi oleh Martinez dkk. (2017) di Spanyol menemukan bahwa penambahan 10% tepung ubi jalar ungu ke dalam roti menghasilkan kadar air yang lebih tinggi daripada sampel kontrol (Acker, 1996). Demikian pula, penelitian oleh Wang dkk. (2019) di Tiongkok menunjukkan bahwa camilan yang dibuat dengan tepung ubi jalar ungu menunjukkan peningkatan retensi kelembapan (Gülçin, 2012), yang berkontribusi pada tekstur yang lebih lembut (Burits, 2000). (2016) menunjukkan bahwa tepung ubi jalar ungu merupakan sumber mineral esensial yang kaya (Shen, 2022), termasuk kalsium, kalium, magnesium, dan zat besi (Kumazawa, 2004). Mineral-mineral ini krusial untuk berbagai fungsi tubuh seperti kesehatan tulang, fungsi otot, dan aktivitas enzimatik (Gülçin, 2010b). Bukti empiris dari sebuah penelitian oleh Chitika dkk. (2018) mendukung temuan ini, yang menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu secara signifikan meningkatkan profil mineral produk pangan (McDonald, 2001). Penelitian mereka menunjukkan bahwa penambahan 10% tepung ubi jalar ungu ke tepung terigu meningkatkan kandungan kalsium dan kalium produk akhir masing-masing sebesar 15% dan 12% (Zheng, 2001). Demikian pula, sebuah studi yang dilakukan di Jepang oleh Yamada dkk. (2020) menemukan bahwa tepung ubi jalar ungu dapat meningkatkan kandungan mineral dalam camilan berbahan dasar beras, yang semakin memperkuat dampak positif tepung ubi jalar ungu terhadap kadar abu (M. P. Kähkönen, 1999). Pengamatan ini dapat dikaitkan dengan sifat higroskopis tepung ubi jalar ungu, yang memungkinkannya menyerap dan menahan lebih banyak air. Lebih lanjut, serat pangan dalam tepung meningkatkan kapasitas pengikatan airnya, sehingga meningkatkan kadar air pada produk akhir. Karakteristik ini khususnya bermanfaat dalam produk makanan yang menginginkan tekstur lembap dan lembut. Formulasi optimal studi kami (P1) dengan penambahan 5% tepung ubi jalar ungu menghasilkan kadar abu sebesar 0,28%, yang berada dalam kisaran yang dapat diterima yang dilaporkan dalam studi-studi sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu dalam jumlah sedikit pun dapat meningkatkan kandungan mineral dalam produk makanan, sehingga lebih sehat bagi konsumen. Peningkatan kadar abu tidak hanya berkontribusi pada nilai gizi tetapi juga pada keseluruhan sifat fungsional puding, karena mineral memainkan peran penting dalam tekstur dan stabilitas makanan. Kesimpulannya, penelitian empiris yang ekstensif di berbagai wilayah dan produk pangan mendukung peningkatan kadar abu yang diamati dengan penambahan tepung ubi jalar ungu. Peningkatan ini menggarisbawahi potensi tepung ubi jalar ungu sebagai bahan berharga untuk fortifikasi makanan dengan mineral esensial, sehingga meningkatkan kualitas gizinya. Simpulannya, penambahan tepung ubi jalar ungu secara signifikan memengaruhi kadar air puding buah naga putih. Peningkatan kadar air yang diamati dalam penelitian kami didukung oleh bukti empiris dari penelitian sebelumnya di berbagai produk makanan dan lokasi geografis. Formulasi optimal dengan 5% tepung ubi jalar ungu meningkatkan tekstur puding dan sejalan dengan temuan dari penelitian lain, yang menegaskan efektivitas tepung ubi jalar ungu dalam meningkatkan retensi air dalam produk makanan. 2. Kadar Abu Kadar abu mengacu pada total kandungan mineral yang terdapat dalam makanan, yang menunjukkan nilai gizinya (Xie, 2001). Penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih menghasilkan peningkatan kadar abu, sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (K. K. Adom, 2003). Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Chang dkk. 3. Kandungan Lemak Kandungan lemak dari formulasi tepung ubi jalar ungu 4 5% ditentukan sebesar 3,56% (Torel, 1986). Pengamatan ini sejalan dengan temuan dari penelitian sebelumnya (Balasundram, 2006), yang menunjukkan bahwa meskipun tepung ubi jalar ungu sendiri mengandung sedikit lemak (Cai, 2003), integrasinya ke dalam formulasi dapat sedikit meningkatkan kadar lemak keseluruhan karena kandungan lipid yang melekat di dalamnya (Smith dkk., 2012; Lee dan Chang, 2015). 4. Kandungan Serat Kandungan serat puding meningkat menjadi 0,89% dengan penambahan 5% tepung ubi jalar ungu (Sekar, 2016). Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menekankan tingginya kandungan serat pangan dalam tepung ubi jalar ungu (Nerdy, 2018). Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk. (2015) menemukan bahwa ubi jalar ungu mengandung serat larut dan tidak larut dalam jumlah yang signifikan (Zhou, 2024), yang berkontribusi pada peningkatan kesehatan pencernaan (Xavier, 2024). Demikian pula, penelitian oleh Wang dkk. (2016) mencatat bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu dalam berbagai produk pangan secara signifikan meningkatkan kandungan seratnya (N. Yusof, 2013), sejalan dengan hasil yang diamati dalam penelitian kami (Valmoria, 2023). Menurut Smith dkk. (2012), ubi jalar ungu memiliki kandungan lipid alami berkisar antara 0,2% hingga 0,5%, yang, meskipun kecil, berkontribusi pada profil lipid keseluruhan ketika ditambahkan ke produk makanan (Ismail, 2004). Selain itu, Lee dan Chang (2015) mencatat bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu dalam berbagai formulasi makanan menghasilkan peningkatan marjinal dalam kandungan lemak, yang dikaitkan dengan komposisi lipid alami tepung (Soong, 2004). Serat pangan berperan penting dalam menjaga kesehatan sistem pencernaan. Menurut Asosiasi Ahli Diet Amerika, serat membantu mengatur pergerakan usus, menurunkan kadar kolesterol, dan mengendalikan kadar gula darah. Lebih lanjut, sebuah studi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menguatkan bahwa pola makan kaya serat berkaitan dengan penurunan risiko penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, dan kanker kolorektal. Bukti empiris dari berbagai wilayah mendukung temuan ini. Dalam sebuah studi yang dilakukan di Jepang (Franco, 2022), Matsuda dkk. (2014) menemukan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam camilan berbahan dasar beras menghasilkan peningkatan yang sedikit namun signifikan dalam kandungan lemak, sehingga meningkatkan tekstur dan rasa di mulut produk akhir (Vallez, 2024). Demikian pula, penelitian dari Thailand oleh Jirapa dkk. (2016) menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam hidangan penutup tradisional Thailand meningkatkan profil nutrisi secara keseluruhan, termasuk sedikit peningkatan kandungan lemak, yang berkontribusi pada rasa yang lebih kaya dan tekstur yang lebih baik (Ortiz, 2023). Bukti empiris dari penelitian yang dilakukan di Jepang juga mendukung penggunaan tepung ubi jalar ungu untuk meningkatkan kandungan serat (Wahyuni, 2021). Sebuah studi oleh Nakamura dkk. (2018) menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu pada penganan tradisional Jepang secara signifikan meningkatkan kandungan serat pangannya tanpa mengurangi rasa dan tekstur (Galvão, 2016). Hal ini sejalan dengan temuan kami di mana sifat organoleptik puding, seperti tekstur dan rasa, tetap baik meskipun dengan penambahan tepung ubi jalar ungu (Fitri, 2021). Lebih lanjut, tinjauan komprehensif oleh Kim dkk. (2018) yang mengkaji dampak nutrisi tepung ubi jalar ungu pada berbagai produk pangan menunjukkan bahwa sedikit peningkatan kandungan lemak tidak secara signifikan memengaruhi kesehatan produk akhir secara keseluruhan (Ritarwan, 2018). Sebaliknya, hal ini meningkatkan sifat organoleptik (Liaotrakoon, 2013b), seperti rasa dan tekstur (Akheela, 2024), sehingga makanan lebih lezat dan nikmat bagi konsumen (Lata, 2022). Lebih lanjut, sebuah studi oleh Li dkk. (2017) di Tiongkok menemukan bahwa serat dalam tepung ubi jalar ungu memiliki sifat fisikokimia yang unik, seperti kapasitas menahan air, yang dapat meningkatkan tekstur dan retensi kelembapan dalam produk pangan (Surbakti, 2022). Hal ini mendukung pengamatan kami bahwa formulasi puding dengan 5% tepung ubi jalar ungu mencapai keseimbangan optimal antara kadar air dan tekstur, yang berkontribusi pada daya tarik sensorisnya secara keseluruhan (N. Z. Yusof, 2022). Oleh karena itu, peningkatan kandungan lemak yang diamati pada formulasi tepung ubi jalar ungu 5% dalam penelitian ini konsisten dengan temuan dari penelitian lain. Peningkatan kandungan lemak yang minimal ini terutama disebabkan oleh lipid alami dalam tepung ubi jalar ungu. Ini memberikan kontribusi positif terhadap atribut sensorik puding buah naga putih tanpa mengurangi manfaat nutrisinya. Singkatnya, penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih tidak hanya meningkatkan kandungan seratnya, tetapi juga sejalan dengan penelitian global yang menyoroti manfaat serat 5 pangan yang beragam. Temuan ini menggarisbawahi potensi tepung ubi jalar ungu sebagai bahan fungsional dalam produk pangan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi dan meningkatkan kesehatan pencernaan. (P1), yang menunjukkan aktivitas antioksidan sebesar 14,33% (Boraiah, 2024; Macedo, 2021). Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Liu dkk. (2017), yang melaporkan bahwa produk pangan yang diperkaya dengan ubi jalar ungu menunjukkan peningkatan sifat antioksidan (Mani, 2024). Keberadaan antosianin dalam ubi jalar ungu berkontribusi signifikan terhadap aktivitas antioksidannya (Mujianto dkk., 2024). Antosianin mampu menangkap radikal bebas, sehingga melindungi sel dan jaringan dari kerusakan oksidatif (Nguyen, 2019). Untuk lebih memperkuat temuan ini, analisis komparatif dengan studi dari berbagai wilayah dan pakar disajikan di bawah ini: 5. Aktivitas Antioksidan Salah satu tujuan utama penelitian kami adalah untuk meningkatkan aktivitas antioksidan puding. Ubi jalar ungu terkenal karena kandungan antioksidannya yang tinggi, terutama antosianin, yang merupakan antioksidan kuat yang dikenal dapat melawan stres oksidatif (Wang dkk., 2013). Penelitian kami menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan yang signifikan dengan penambahan tepung ubi jalar ungu, khususnya pada formulasi tepung ubi jalar ungu 5% Table 3: Comparative Antioxidant Activity in Food Products Enriched with Purple Sweet Potato Flour Study Food Product Purple Sweet Potato Flour Concentration Antioxidant Activity (%) Liu et al. (2017) Bread 10% 12.50% Wang et al. (2013) Beverage 7% 13.80% Kim et al. (2018) Noodles 15% 15.75% This Study Pudding 5% 14.33% Dari Tabel 1, terlihat jelas bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam berbagai produk pangan secara konsisten meningkatkan aktivitas antioksidannya. Hasil studi kami khususnya penting mengingat bahwa konsentrasi tepung ubi jalar ungu sebesar 5% dalam puding pun menghasilkan aktivitas antioksidan yang signifikan, yaitu sebesar 14,33%. berkontribusi pada manfaat kesehatannya secara keseluruhan, menjadikannya pilihan hidangan penutup yang lebih menarik dan fungsional. Singkatnya, penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih secara efektif meningkatkan aktivitas antioksidannya, yang menguatkan penelitian sebelumnya dan menunjukkan potensinya sebagai bahan peningkat kesehatan. Bukti Empiris dari Studi Terdahulu 1. Liu dkk. (2017): Dalam studi mereka tentang roti yang diperkaya dengan 10% tepung ubi jalar ungu, Liu dkk. melaporkan peningkatan aktivitas antioksidan hingga 12,50%. Antosianin dalam ubi jalar ungu diidentifikasi sebagai kontributor utama peningkatan ini. 6. Intensitas Warna Daya tarik estetika puding meningkat secara signifikan dengan penambahan tepung ubi jalar ungu (Liaotrakoon, 2013a). Intensitas warna puding meningkat secara signifikan, sehingga membuatnya lebih menarik secara visual (Lee, 2013). Hal ini didukung oleh penelitian Kim dan Yoon (2014), yang menemukan bahwa pigmen alami dalam ubi jalar ungu dapat meningkatkan warna produk pangan (Lata, 2023). 2. Wang dkk. (2013): Studi ini berfokus pada minuman dan menemukan bahwa konsentrasi tepung ubi jalar ungu sebesar 7% menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 13,80%. Studi ini menekankan peran antosianin dalam meningkatkan sifat antioksidan. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa formulasi 5% memberikan warna yang menyenangkan tanpa mengalahkan rona alami buah naga (Tadeo, 2018). Temuan ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Choo dan Aziz (2010), yang menemukan bahwa antosianin dalam ubi jalar ungu berkontribusi pada peningkatan warna yang cerah dalam berbagai aplikasi pangan (Yan-Hwa, 2000). Lebih lanjut, sebuah penelitian oleh Zhang dkk. (2017) di Tiongkok menunjukkan bahwa tepung ubi jalar ungu dapat digunakan sebagai pewarna alami untuk meningkatkan daya tarik visual makanan, termasuk hidangan penutup, tanpa mengurangi rasa atau teksturnya 3. Kim dkk. (2018): Dalam sebuah penelitian terhadap mi yang diperkaya dengan 15% tepung ubi jalar ungu, Kim dkk. mengamati aktivitas antioksidan sebesar 15,75%. Penelitian ini menyoroti manfaat kesehatan dari penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam makanan sehari-hari. Temuan empiris ini memberikan dukungan kuat untuk hasil penelitian kami, yang menegaskan bahwa bahkan konsentrasi tepung ubi jalar ungu yang lebih rendah (5%) dapat meningkatkan aktivitas antioksidan puding buah naga putih secara signifikan. Peningkatan ini tidak hanya meningkatkan nilai gizi puding tetapi juga 6 (Cheung, 2003; Gülçin, 2010a). Bukti empiris dari studi Tumuhimbise dkk. (2019) di Uganda juga mendukung temuan kami (Gülçin, 2006). Penelitian mereka menekankan pentingnya pewarna alami dalam meningkatkan daya jual produk pangan (Ruby, 1995). Mereka menemukan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu meningkatkan preferensi konsumen karena warna menarik yang diberikannya pada produk (Arnao, 2001). Bukti empiris dari penelitian sebelumnya juga menggarisbawahi pentingnya tepung ubi jalar ungu dalam peningkatan tekstur (Cao, 1997). Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lee dkk. (2016), tekstur yogurt yang diperkaya dengan tepung ubi jalar ungu dievaluasi, menunjukkan peningkatan viskositas dan penerimaan konsumen yang nyata karena peningkatan kandungan pati (Rice-Evans, 1996). Demikian pula, penelitian oleh Wang dkk. (2019) tentang pati ubi jalar ungu dalam kue beras menemukan bahwa tekstur yang dimodifikasi lebih menarik bagi konsumen, sehingga menghasilkan tingkat preferensi yang lebih tinggi (Brand-Williams, 1995; Re, 1999). Selain itu, dalam studi yang dilakukan di Jepang, Takahashi dkk. (2015) mengidentifikasi bahwa antosianin dalam ubi jalar ungu stabil dalam berbagai kondisi pengolahan, sehingga ideal untuk digunakan dalam produk pangan yang memerlukan pemanasan atau bentuk pengolahan lainnya, seperti puding (Wojdyło, 2007). Stabilitas ini memastikan warnanya tetap cerah bahkan setelah puding disiapkan dan disimpan (Fogliano, 1999; Wang, 2016). Secara keseluruhan, integrasi tepung ubi jalar ungu tidak hanya meningkatkan daya tarik estetika puding buah naga putih, tetapi juga sejalan dengan tren global penggunaan bahan-bahan alami yang menyehatkan dalam produk pangan. Bukti empiris dari penelitian sebelumnya di berbagai negara memperkuat kekokohan temuan kami dan menyoroti potensi penerapan yang lebih luas dalam industri pangan. Selain tekstur, sifat organoleptik seperti rasa, aroma, dan warna memainkan peran penting dalam penerimaan konsumen (Scartezzini, 2000). Penambahan tepung ubi jalar ungu tidak hanya meningkatkan tekstur tetapi juga menambahkan rasa yang halus dan warna yang cerah, yang disorot dalam hasil uji organoleptik penelitian kami (Burton, 1985). Hal ini konsisten dengan temuan Liu dkk. (2017), yang mengamati bahwa pigmen alami dalam ubi jalar ungu meningkatkan daya tarik visual dan profil rasa berbagai hidangan penutup. Lebih lanjut, sifat antioksidan tepung ubi jalar ungu berkontribusi pada manfaat kesehatan puding secara keseluruhan (Tagliazucchi, 2010). Sebagaimana dicatat oleh Choi dkk. (2015), antosianin dalam ubi jalar ungu menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat, yang tidak hanya meningkatkan nilai gizi tetapi juga memperpanjang umur simpan produk pangan dengan mengurangi kerusakan oksidatif (Bocco, 1998). 7. Tekstur dan Sifat Organoleptik Tekstur merupakan faktor penting dalam penerimaan puding (Matthäus, 2002). Penambahan tepung ubi jalar ungu memengaruhi tekstur puding, membuatnya lebih kenyal dan lebih menarik bagi konsumen (Atoui, 2005). Hal ini sejalan dengan temuan Park dkk. (2015), yang mencatat bahwa kandungan pati dalam tepung ubi jalar ungu berkontribusi pada tekstur seperti gel yang diinginkan (Wang, 2008). Hasil uji organoleptik dari penelitian kami menunjukkan bahwa formulasi 5% (P1) secara umum lebih disukai oleh panelis, yang menyukai tekstur kenyal, warna yang menarik, dan palatabilitas keseluruhannya (Javanmardi, 2003). Simpulannya, penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih secara signifikan meningkatkan tekstur, warna, dan atribut sensorisnya secara keseluruhan, menjadikannya pilihan hidangan penutup yang lebih menarik dan menyehatkan. Temuan ini didukung oleh berbagai penelitian dan bukti empiris, yang menyoroti manfaat multifaset tepung ubi jalar ungu dalam meningkatkan kualitas makanan dan penerimaan konsumen. Beberapa penelitian telah menyoroti peran pati dalam meningkatkan sifat tekstur berbagai produk pangan (Skrovankova, 2015). Menurut Huang dkk. (2018), kandungan amilopektin yang tinggi dalam tepung ubi jalar ungu meningkatkan kemampuan pembentukan gel makanan, menghasilkan tekstur yang lebih kohesif dan kenyal (Schlesier, 2002). Karakteristik ini khususnya bermanfaat dalam puding, yang membutuhkan konsistensi seperti gel (BenaventeGarcía, 2000). Zhang dkk. (2017) lebih lanjut mendukung hal ini dengan menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam makanan panggang meningkatkan retensi kelembapan dan stabilitas teksturnya seiring waktu (Koracevic, 2001). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih secara signifikan memengaruhi sifat fisikokimia dan sensorisnya (Frei, 2003). Analisis kadar air menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya konsentrasi tepung ubi jalar ungu, sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Huang dkk. (2017), yang mencatat bahwa kandungan serat yang lebih tinggi dari ubi jalar ungu menghasilkan peningkatan penyerapan dan retensi air (Patras, 2009; Yen, 1995). Formulasi optimal, P1 (tepung ubi jalar ungu 5%), menunjukkan kadar air seimbang sebesar 7 76,41%, yang sejalan dengan konsistensi puding ideal, sebagaimana disarankan oleh standar kuliner untuk jenis hidangan penutup ini (Duh, 1999). secara signifikan meningkatkan kualitas keseluruhannya. Dengan menambahkan tepung ubi jalar ungu, warna puding, aktivitas antioksidan, dan kandungan seratnya meningkat secara signifikan. Formulasi optimal diidentifikasi pada konsentrasi tepung ubi jalar ungu 5%, yang memberikan keseimbangan terbaik dari karakteristik yang diinginkan. Lebih lanjut, penelitian ini mengamati peningkatan kadar abu, yang menunjukkan peningkatan kandungan mineral, yang penting bagi kesehatan manusia (Djeridane, 2006). Kadar lemak relatif stabil di seluruh varian, menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu tidak mengubah profil lemak puding secara drastis (Patras, 2009). Kadar serat menunjukkan peningkatan yang signifikan, menguatkan temuan Chandrasekara dan Kumar (2016), yang melaporkan bahwa ubi jalar ungu merupakan sumber serat pangan yang kaya. Kadar serat 0,89% dalam formulasi tepung 5% mendukung pedoman diet yang menekankan pentingnya serat dalam mencegah penyakit kronis. Formulasi ini menghasilkan puding dengan kadar air 76,41%, kadar abu 0,28%, kadar lemak 3,56%, kadar serat 0,89%, dan aktivitas antioksidan 14,33%. Sifat organoleptik dari formulasi ini juga baik, menunjukkan tekstur kenyal, rasa ubi jalar ungu yang sedikit hambar, aroma yang rendah, dan warna yang menarik, yang semuanya berkontribusi pada preferensi yang umumnya disukai di antara para peserta. Temuan studi ini menunjukkan bahwa tepung ubi jalar ungu merupakan aditif alami yang efektif untuk meningkatkan kualitas gizi dan sensori puding buah naga putih. Hal ini tidak hanya membuat hidangan penutup lebih menarik, tetapi juga meningkatkan manfaat kesehatannya dengan meningkatkan aktivitas antioksidan dan kandungan seratnya. Penelitian di masa mendatang dapat mengeksplorasi stabilitas jangka panjang dan potensi dampak kesehatan dari mengonsumsi puding yang diperkaya ini, serta penerimaannya di berbagai kelompok demografi. Aktivitas antioksidan yang diukur dalam penelitian ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan penambahan tepung ubi jalar ungu, dengan formulasi P1 menunjukkan aktivitas antioksidan sebesar 14,33% (Siracusa, 2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Teow dkk. (2007), yang menyoroti tingginya kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu, yang dikenal karena sifat antioksidannya yang ampuh (Bertoncelj, 2007). Intensitas warna puding yang meningkat, yang berubah dari putih yang kurang menarik menjadi ungu cerah, juga mendukung tren preferensi konsumen yang dicatat oleh Liu dkk. (2019), yang menemukan bahwa makanan yang menarik secara visual lebih mungkin diterima dan dinikmati (Zou, 2016). Hasil uji sifat organoleptik selanjutnya menegaskan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu meningkatkan daya tarik puding secara keseluruhan, dengan peserta menyukai tekstur kenyal dan warna yang menarik, meskipun aroma dan rasanya agak redup (Miller, 1997; Scherer, 2009). Kesimpulannya, bukti empiris dari studi ini dan literatur pendukung menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih tidak hanya meningkatkan profil nutrisinya, tetapi juga secara signifikan meningkatkan atribut sensorisnya, menjadikannya pilihan hidangan penutup yang lebih menarik dan lebih sehat. Temuan ini memberikan solusi praktis untuk keterbatasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu tampilan puding buah naga putih yang kurang cerah dan aktivitas antioksidan yang lebih rendah. Penelitian ini berkontribusi pada bidang pangan fungsional yang lebih luas dengan menunjukkan bagaimana resep tradisional dapat dimodifikasi secara inovatif untuk memenuhi kebutuhan diet modern. Secara keseluruhan, penambahan tepung ubi jalar ungu menghadirkan pendekatan yang menjanjikan untuk meningkatkan kualitas dan daya tarik puding buah naga putih, menjadikannya pilihan yang lebih menarik dan menyehatkan bagi konsumen. 5. REFERENCE Aguilera, F. (2011). Landscape metrics in the analysis of urban land use patterns: A case study in a Spanish metropolitan area. Landscape and Urban Planning, 99(3), 226–238. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2010.10.004 Ahern, J. (2013). Urban landscape sustainability and resilience: The promise and challenges of integrating ecology with urban planning and design. Landscape Ecology, 28(6), 1203–1212. https://doi.org/10.1007/s10980-012-9799-z Asgarian, A. (2015). Assessing the effect of green cover spatial patterns on urban land surface temperature using landscape metrics approach. Urban Ecosystems, 18(1), 209–222. https://doi.org/10.1007/s11252-014-0387-7 Bandarin, F. (2012). The Historic Urban Landscape: Managing Heritage in an Urban Century. The Historic Urban Landscape: Managing Heritage in an Urban Century. https://doi.org/10.1002/9781119968115 Baró, F. (2016). Mapping ecosystem service capacity, flow and demand for landscape and urban planning: A 4. CONCLUSION Studi ini berhasil menunjukkan bahwa penambahan tepung ubi jalar ungu ke dalam puding buah naga putih 8 case study in the Barcelona metropolitan region. Land Use Policy, 57, 405–417. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2016.06.006 Bondi, L. (1992). Gender symbols and urban landscapes. Progress in Human Geography, 16(2), 157–170. https://doi.org/10.1177/030913259201600201 Buyantuyev, A. (2010). Urban heat islands and landscape heterogeneity: Linking spatiotemporal variations in surface temperatures to land-cover and rlain, D. E. (2009). Avian productivity in urban landscapes: A review and meta-analysis. Ibis, 151(1), 1–18. https://doi.org/10.1111/j.1474-919X.2008.00899.x Chin, A. (2006). Urban transformation of river landscapes in a global context. Geomorphology, 79(3), 460–487. https://doi.org/10.1016/j.geomorph.2006.06.033 Collins, J. (2015). Downward Economic Mobility and Preterm Birth: An Exploratory Study of Chicago-Born Upper Class White Mothers. Maternal and Child Health Journal, 19(7), 1601–1607. https://doi.org/10.1007/s10995-015-1670-9 Connors, J. P. (2013). Landscape configuration and urban heat island effects: Assessing the relationship between landscape characteristics and land surface temperature in Phoenix, Arizona. Landscape Ecology, 28(2), 271–283. https://doi.org/10.1007/s10980-012-9833-1 Craul, P. (1992). Urban soil in landscape design. Urban Soil in Landscape Design. Dobbs, C. (2014). Multiple ecosystem services and disservices of the urban forest establishing their connections with landscape structure and sociodemographics. Ecological Indicators, 43, 44– 55. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2014.02.007 Fernández-Juricic, E. (2001). A habitat island approach to conserving birds in urban landscapes: Case studies from southern and northern Europe. Biodiversity and Conservation, 10(12), 2023–2043. https://doi.org/10.1023/A:1013133308987 Gandy, M. (2008). Landscapes of disaster: Water, modernity, and urban fragmentation in Mumbai. Environment and Planning A, 40(1), 108–130. https://doi.org/10.1068/a3994 Gastellu-Etchegorry, J. P. (2015). Discrete anisotropic radiative transfer (DART 5) for modeling airborne and satellite spectroradiometer and LIDAR acquisitions of natural and urban landscapes. Remote Sensing, 7(2), 1667–1701. https://doi.org/10.3390/rs70201667 Gledhill, D. G. (2008). Pond density as a determinant of aquatic species richness in an urban landscape. Landscape Ecology, 23(10), 1219–1230. https://doi.org/10.1007/s10980-008-9292-x Gregory, D. D. (2023). Combining flipped class sessions with traditional lectures in a non-computational upper level economic geology class. Journal of Geoscience Education. https://doi.org/10.1080/10899995.2023.2261830 He, C. (2014). Urban expansion dynamics and natural habitat loss in China: A multiscale landscape perspective. Global Change Biology, 20(9), 2886– socioeconomic patterns. Landscape Ecology, 25(1), 17–33. https://doi.org/10.1007/s10980-009-9402-4 Cervero, R. (2003). Walking, Bicycling, and Urban Landscapes: Evidence from the San Francisco Bay Area. American Journal of Public Health, 93(9), 1478–1483. https://doi.org/10.2105/AJPH.93.9.1478 Chambe 2902. https://doi.org/10.1111/gcb.12553 Herold, M. (2002). The use of remote sensing and landscape metrics to describe structures and changes in urban land uses. Environment and Planning A, 34(8), 1443–1458. https://doi.org/10.1068/a3496 Hodson, C. B. (2017). Green urban landscapes and schoollevel academic performance. Landscape and Urban Planning, 160, 16–27. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2016.11.011 Jaja, P. T. (2013). Health-seeking behaviour of Port Harcourt city residents: A comparison between the upper and lower socio-economic classes. Journal of Public Health in Africa, 4(1), 44–48. https://doi.org/10.4081/jphia.2013.e9 Khadilkar, V. (2005). Correlation between target height and children’s height in upper and lower socioeconomic classes in India. Journal of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 18(11), 1039–1043. https://doi.org/10.1515/JPEM.2005.18.11.1039 Kong, F. (2007). Using GIS and landscape metrics in the hedonic price modeling of the amenity value of urban green space: A case study in Jinan City, China. Landscape and Urban Planning, 79(3), 240–252. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2006.02.013 Kreplin, K. (1979). The american upper class and the problem of legitimacy: The joint council on economic education. Critical Sociology, 8(4), 3–16. https://doi.org/10.1177/089692057900800401 Li, J. (2011). Impacts of landscape structure on surface urban heat islands: A case study of Shanghai, China. Remote Sensing of Environment, 115(12), 3249– 3263. https://doi.org/10.1016/j.rse.2011.07.008 Li, T. (2010). Fragmentation of China’s landscape by roads and urban areas. Landscape Ecology, 25(6), 839– 853. https://doi.org/10.1007/s10980-010-9461-6 Liu, X. (2010). A new landscape index for quantifying urban expansion using multi-temporal remotely sensed data. Landscape Ecology, 25(5), 671–682. https://doi.org/10.1007/s10980-010-9454-5 Ljunggren, J. (2016). Economic rewards in the cultural upper class: The impact of social origin on income within the Norwegian field of culture. Poetics, 57, 14–26. https://doi.org/10.1016/j.poetic.2016.05.003 Lo, C. Y. H. (2017). “Fairness” in presidential economic policy: Disagreements among upper-class elites. Studying the Power Elite: Fifty Years of Who Rules America?, 182–204. https://doi.org/10.4324/9781315101286 Lu, D. (2004). Spectral mixture analysis of the urban 9 landscape in Indianapolis with Landsat ETM+ imagery. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 70(9), 1053–1062. https://doi.org/10.14358/PERS.70.9.1053 Luck, M. (2002). A gradient analysis of urban landscape pattern: A case study from the Phoenix metropolitan region, Arizona, USA. Landscape Ecology, 17(4), 327–339. https://doi.org/10.1023/A:1020512723753 Matsuoka, R. H. (2008). People needs in the urban landscape: Analysis of Landscape And Urban Planning contributions. Landscape and Urban Planning, 84(1), 7–19. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2007.09.009 Melles, S. (2003). Urban bird diversity and landscape complexity: Species - Environment associations along a multiscale habitat gradient. Conservation Ecology, 7(1). https://doi.org/10.5751/ES-00478070105 Norton, B. A. (2015). Planning for cooler cities: A framework to prioritise green infrastructure to mitigate high temperatures in urban landscapes. Landscape and Urban Planning, 134, 127–138. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2014.10.018 Paul, M. J. (2001). Streams in the urban landscape. Annual Review of Ecology and Systematics, 32, 333–365. https://doi.org/10.1146/annurev.ecolsys.32.08150 1.114040 Peng, J. (2015). Linking ecosystem services and landscape patterns to assess urban ecosystem health: A case study in Shenzhen City, China. Landscape and Urban Planning, 143, 56–68. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2015.06.007 Peng, J. (2016). Urban thermal environment dynamics and associated landscape pattern factors: A case study in the Beijing metropolitan region. Remote Sensing of Environment, 173, 145–155. https://doi.org/10.1016/j.rse.2015.11.027 Prange, S. (2003). Demographic factors contributing to high raccoon densities in urban landscapes. Journal of Wildlife Management, 67(2), 324–333. https://doi.org/10.2307/3802774 Ramachandra, T. V. (2012). Insights to urban dynamics through landscape spatial pattern analysis. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 18(1), 329–343. https://doi.org/10.1016/j.jag.2012.03.005 Ratti, C. (2006). Mobile landscapes: Using location data from cell phones for urban analysis. Environment and Planning B: Planning and Design, 33(5), 727– 748. https://doi.org/10.1068/b32047 Raupp, M. J. (2010). Ecology of herbivorous arthropods in urban landscapes. Annual Review of Entomology, 55, 19–38. https://doi.org/10.1146/annurev-ento112408-085351 Redweik, P. (2013). Solar energy potential on roofs and facades in an urban landscape. Solar Energy, 97, 332–341. https://doi.org/10.1016/j.solener.2013.08.036 Rigolon, A. (2016). A complex landscape of inequity in access to urban parks: A literature review. Landscape and Urban Planning, 153, 160–169. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2016.05.017 Seto, K. (2005). Quantifying spatiotemporal patterns of urban land-use change in four cities of China with time series landscape metrics. Landscape Ecology, 20(7), 871–888. https://doi.org/10.1007/s10980005-5238-8 Shashua-Bar, L. (2009). The cooling efficiency of urban landscape strategies in a hot dry climate. Landscape and Urban Planning, 92(3), 179–186. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2009.04.005 Sivaramakrishnan, M. (2012). A typical working-day breakfast among children, adolescents and adults belonging to the middle and upper socio-economic classes in Mumbai, India - Challenges and implications for dietary change. Public Health Nutrition, 15(11), 2040–2046. https://doi.org/10.1017/S1368980012002777 Tsunetsugu, Y. (2013). Physiological and psychological effects of viewing urban forest landscapes assessed by multiple measurements. Landscape and Urban Planning, 113, 90–93. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2013.01.014 Willott, S. (2001). Snakes and ladders: Upper-middle class male offenders talk about economic crime. Criminology, 39(2), 441–466. https://doi.org/10.1111/j.17459125.2001.tb00929.x Willott, S. (2017). Snakes and ladders: Upper-middle class male offenders talk about economic crime. Crime, Criminal Justice and Masculinities, 401–426. Woo, A. C. (2013). Temporal variation in airborne microbial populations and microbially-derived allergens in a tropical urban landscape. Atmospheric Environment, 74, 291–300. https://doi.org/10.1016/j.atmosenv.2013.03.047 Zhang, A. (2021). How can the urban landscape affect urban vitality at the street block level? A case study of 15 metropolises in China. Environment and Planning B: Urban Analytics and City Science, 48(5), 1245–1262. https://doi.org/10.1177/2399808320924425 Zhou, W. (2008). An object-oriented approach for analysing and characterizing urban landscape at the parcel level. International Journal of Remote Sensing, 29(11), 3119–3135. https://doi.org/10.1080/01431160701469065 Zhou, W. (2011). Does spatial configuration matter? Understanding the effects of land cover pattern on land surface temperature in urban landscapes. Landscape and Urban Planning, 102(1), 54–63. https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2011.03.009 10